Kamis, 21 Januari 2016

Aku dan Hikmah Kemacetan



Tepat pukul delapan pagi, saya bergegas memulai aktivitas seperti hari biasanya, dengan mengawali beberapa doa dan niat. Saya keluar dari rumah menuju kampus dengan mengendarai si putih beroda dua yang tidak enak dipandang. Pagi itu, Si Putih lebih tepat dipanggil dengan sebutan Si Kotor, dikarenakan beberapa hari ini cuaca yang tidak menentu, seperti siangnya panas dan sorenya hujan, sehingga jalanan memberikan hiasan dan bercak yang tentunya tidak akan bagus untuk dipandang pada Si putih dan kawan-kawannya. Lupakan Si Putih dan kawan-kawannya, mari kembali fokus. Saya mulai menyalakan mesin dan mengendarai Si Putih dengan penuh santai. 

Beberapa menit dijalan, dari kejauhan yang semakin mendekat. Kemacetan menjadi pemandangan yang sering terlihat setiap harinya. Dan lagi, seperti biasa saya hanya bisa mengucapkan kalimat “Yah.. dapat macetma seng..tapi asik bisaka lihat kiri kekanan.“ (Yah… macet lagi.. tapi asik akhirnya saya bisa melihat kiri kekanan). Bagi saya, ketika macet dijalan itu adalah hal yang wajar dan percuma jika dikeluhkan. kemudian pada akhirnya, saya mencoba mengambil sisi positif saat macet, yaitu kita bisa melihat lebih luas, bisa istirahat menarik gas dalam beberapa detik, dan bisa memerhatikan raut wajah manusia-manusia pengendara yang kesal dengan kemacetan. Terlepas dari sisi positif versi diri saya, tentunya kemacetan akan berujung pada kata capek karena harus ngerem berkali-kali, mengeluh, kepanasan, dan yang paling sering berujung pada kata terlambat.


 
Sumber: www.google.co.id

Kemacetan merupakan situasi atau keadaan dimana terhentinya lalu lintas karena jumlah kendaraan di jalan melebihi kapasitas jalan. Namun, menurut saya, kemacetan merupakan buah hasil dari waktu yang kita sendiri tunda sebelum bepergian. Karena sebelumnya, kita sudah tau pada jam berapa kita harus berada pada tempat yang akan didatangi. Otomatis, kita harus bersiap-siap sejam sebelum menuju ke lokasi yang ingin didatangi dan tentunya memikirkan hal-hal yang kemungkinan bisa menjadi penghalang untuk tepat waktu. Sederhananya saja kemungkinan yang bisa terjadi adalah kemacetan yang sudah menjadi pemandangan keseharian dijalan. Beberapa orang khususnya pengendara muda (termasuk saya) terkadang lalai dengan waktu dan ketika sampai ke lokasi, mereka menjadikan kemacetan sebagai alasan utama sebagai keterlambatan. 

Kasihan kemacetan selalu disalahkan, padahal yang menyebabkan kemacetan sendiri para pengendara dijalan. Sebenarnya sudah banyak cara yang dilakukan pemerintah dalam mencegah terjadinya kemacetan di jalan. Salah satu, program Pemerintah untuk menanggulangi kemacetan dengan memperadakan busway di tiap titik jalan utama, memperluas jalan, dan sebagainya. Memperluas jalanpun tidak cukup mudah. Ada beberapa yang harus berkorban untuk memperluas jalan, yaitu pedagang pinggir jalan. Mereka harus berhenti berjualan demi memperluas jalan agar tidak macet, tetapi alhasil dijalanan tetap saja ada kemacetan. 

Entahlah, berbicara tentang kemacetan memang tidak ada habisnya. Bahkan yang disalahkan karena terjadi kemacetan tidak akan ada habisnya, karena kita pengendara sendiri yang memunculkan situasi seperti itu. Tapi dari kemacetan, seharusnya kita sadar bahwa ternyata kita belum bisa mengatur, baik mengatur waktu dan mengatur emosi. Yah, mengatur waktu jelas penyebabnya. Ketika kita terburu-buru, mengundur-undur waktu, tidak bergerak cepat, tergesah-gesah dan tidak memikirkan hal-hal yang dapat menghambat dalam perjalanan (bertemu dengan kemacetan). Padahal kita sudah tau jam berapa harus segera tiba di tempat yang dituju, kemungkinan kita akan terlambat. Kemudian mengatur emosi, yah kita harus dapat mengontrol emosi ketika bertemu dengan kemacetan. Kita harus punya sikap tenang, sabar, dan tidak menyalahkan keadaan. 

Sebenarnya, kita bisa belajar dari keadaan yang kita tidak suka sama sekali, seperti ketika berada dalam kemacetan kita bisa belajar mengontrol diri, menyadari bahwa ada beberapa menit waktu yang terbuang, belajar mencoba melihat dari sudut pandang yang berbeda dengan orang lain dan mengambil sisi positif dari setiap kejadian yang ada.

Setelah beberapa menit melewati kemacetan, saya merasa lega ketika sudah memasuki jalanan yang tidak macet lagi. Rasanya, seperti sudah melewati ujian seminar proposal (Yah.. salah fokus).  Dan beberapa menit melewati perjalanan, akhirnya saya sampai pada tempat yang dituju, yaitu kampus. Sama seperti hari sebelumnya, saya harus bercengkrama dengan kata menunggu untuk bertemu dengan dosen. Entahlah, akhir-akhir ini menunggu dan digantungin, dua kata yang sering bersahabat denganku.

3 komentar:

  1. Siapa sebenanrya yang dimaksud dengan "kawan-kawannya" Si Putih di paragraf pertama? Masih bertanya-tanya ka...hehehe

    Kenapa tiba-tiba "digantungin" dibawa-bawa di paragraf terakhir? Mungkin cukup kata "menunggu" saja yang ditulis. :)

    Keep writing!

    BalasHapus
  2. Si Putih dan kawan-kawannya, motor yang lain itu kak.

    ohh iye kak. sarannya terpahamkan. Makasih kak :)

    BalasHapus
  3. dan akhirnya kesimpulannya tentang digantungin dan menunggu.. semangat menulis kawan

    BalasHapus