Tepat pukul delapan pagi, saya bergegas memulai
aktivitas seperti hari biasanya, dengan mengawali beberapa doa dan niat. Saya
keluar dari rumah menuju kampus dengan mengendarai si putih beroda dua yang
tidak enak dipandang. Pagi itu, Si Putih lebih tepat dipanggil dengan sebutan
Si Kotor, dikarenakan beberapa hari ini cuaca yang tidak menentu, seperti
siangnya panas dan sorenya hujan, sehingga jalanan memberikan hiasan dan bercak
yang tentunya tidak akan bagus untuk dipandang pada Si putih dan
kawan-kawannya. Lupakan Si Putih dan kawan-kawannya, mari kembali fokus. Saya
mulai menyalakan mesin dan mengendarai Si Putih dengan penuh santai.
Beberapa menit
dijalan, dari kejauhan yang semakin mendekat. Kemacetan menjadi pemandangan
yang sering terlihat setiap harinya. Dan lagi, seperti biasa saya hanya bisa
mengucapkan kalimat “Yah.. dapat macetma
seng..tapi asik bisaka lihat kiri kekanan.“ (Yah… macet lagi.. tapi asik
akhirnya saya bisa melihat kiri kekanan). Bagi saya, ketika macet dijalan itu
adalah hal yang wajar dan percuma jika dikeluhkan. kemudian pada akhirnya, saya
mencoba mengambil sisi positif saat macet, yaitu kita bisa melihat lebih luas,
bisa istirahat menarik gas dalam beberapa detik, dan bisa memerhatikan raut
wajah manusia-manusia pengendara yang kesal dengan kemacetan. Terlepas dari
sisi positif versi diri saya, tentunya kemacetan akan berujung pada kata capek
karena harus ngerem berkali-kali, mengeluh, kepanasan, dan yang paling sering berujung
pada kata terlambat.
Sumber:
www.google.co.id
Kemacetan merupakan situasi atau keadaan dimana
terhentinya lalu lintas karena jumlah kendaraan di jalan melebihi kapasitas
jalan. Namun, menurut saya, kemacetan merupakan buah hasil dari waktu yang kita
sendiri tunda sebelum bepergian. Karena sebelumnya, kita sudah tau pada jam
berapa kita harus berada pada tempat yang akan didatangi. Otomatis, kita harus
bersiap-siap sejam sebelum menuju ke lokasi yang ingin didatangi dan tentunya
memikirkan hal-hal yang kemungkinan bisa menjadi penghalang untuk tepat waktu. Sederhananya
saja kemungkinan yang bisa terjadi adalah kemacetan yang sudah menjadi
pemandangan keseharian dijalan. Beberapa orang khususnya pengendara muda
(termasuk saya) terkadang lalai dengan waktu dan ketika sampai ke lokasi,
mereka menjadikan kemacetan sebagai alasan utama sebagai keterlambatan.
Kasihan kemacetan selalu disalahkan, padahal yang
menyebabkan kemacetan sendiri para pengendara dijalan. Sebenarnya sudah banyak
cara yang dilakukan pemerintah dalam mencegah terjadinya kemacetan di jalan.
Salah satu, program Pemerintah untuk menanggulangi kemacetan dengan
memperadakan busway di tiap titik
jalan utama, memperluas jalan, dan sebagainya. Memperluas jalanpun tidak cukup
mudah. Ada beberapa yang harus berkorban untuk memperluas jalan, yaitu pedagang
pinggir jalan. Mereka harus berhenti berjualan demi memperluas jalan agar tidak
macet, tetapi alhasil dijalanan tetap saja ada kemacetan.
Entahlah, berbicara tentang kemacetan memang tidak
ada habisnya. Bahkan yang disalahkan karena terjadi kemacetan tidak akan ada
habisnya, karena kita pengendara sendiri yang memunculkan situasi seperti itu.
Tapi dari kemacetan, seharusnya kita sadar bahwa ternyata kita belum bisa
mengatur, baik mengatur waktu dan mengatur emosi. Yah, mengatur waktu jelas
penyebabnya. Ketika kita terburu-buru, mengundur-undur waktu, tidak bergerak
cepat, tergesah-gesah dan tidak memikirkan hal-hal yang dapat menghambat dalam
perjalanan (bertemu dengan kemacetan). Padahal kita sudah tau jam berapa harus
segera tiba di tempat yang dituju, kemungkinan kita akan terlambat. Kemudian
mengatur emosi, yah kita harus dapat mengontrol emosi ketika bertemu dengan
kemacetan. Kita harus punya sikap tenang, sabar, dan tidak menyalahkan keadaan.
Sebenarnya, kita bisa belajar dari keadaan yang kita
tidak suka sama sekali, seperti ketika berada dalam kemacetan kita bisa belajar
mengontrol diri, menyadari bahwa ada beberapa menit waktu yang terbuang,
belajar mencoba melihat dari sudut pandang yang berbeda dengan orang lain dan
mengambil sisi positif dari setiap kejadian yang ada.
Setelah beberapa menit melewati kemacetan, saya
merasa lega ketika sudah memasuki jalanan yang tidak macet lagi. Rasanya,
seperti sudah melewati ujian seminar proposal (Yah.. salah fokus). Dan beberapa menit melewati perjalanan,
akhirnya saya sampai pada tempat yang dituju, yaitu kampus. Sama seperti hari
sebelumnya, saya harus bercengkrama dengan kata menunggu untuk bertemu dengan
dosen. Entahlah, akhir-akhir ini menunggu dan digantungin, dua kata yang sering
bersahabat denganku.
Siapa sebenanrya yang dimaksud dengan "kawan-kawannya" Si Putih di paragraf pertama? Masih bertanya-tanya ka...hehehe
BalasHapusKenapa tiba-tiba "digantungin" dibawa-bawa di paragraf terakhir? Mungkin cukup kata "menunggu" saja yang ditulis. :)
Keep writing!
Si Putih dan kawan-kawannya, motor yang lain itu kak.
BalasHapusohh iye kak. sarannya terpahamkan. Makasih kak :)
dan akhirnya kesimpulannya tentang digantungin dan menunggu.. semangat menulis kawan
BalasHapus